Oleh Murodi al-Batawi

Politik Dinasty, tidak hanya terjadi di Indonesia modern, seperti yang terjadi menjelang Pemilukada yang akan dilakukan sekarang ini. Politik Dinasty juga pernah terjadi dalam Sejarah Dunia Islam dahulu dan juga kini.

Dalam opini kali ini, saya berusaha menjelaskan apa yang terjadi dan dilakukan dua orang sahabat besar ini, yaitu Umar bin al-Khatab dan Mua’wiyah bin Abi Sufyan pada saat mereka menjabat sebagai pemimpin besar Dunia Islam saat itu. Dan saya tidak akan menyinggung persoalan lain yang terkait dengan perpolitikan dinasty yang lain.

Dalam catatan Sejarah Islam, dua orang sahabat ini cukup dikenal. Umar ibn al-Khattab dikenal ketegasan dan keadilanya. Sementara Mu’awiyah ibn Abi Sufyan dikenal sebagai politisi yang _*Dahis*_, licik. Keduanya adalah para sahabat dekat Nabi Muhammad saw. Dan mendapat garansi masuk Surga. Tapi dalam perjalanan politik, keduanya memilih jalan tak sama.

Antara Umar dan Mu’awiyah

Selain itu, keduanya juga pernah jadi khalifah. Umar ibn al-Khattab pernah menjadi khalifah Rasyidah selama 10 tahun (634-644 M). Dan keduanya termasuk orang yang dijamin masuk Surga.

Sementara Mu’awiyah pernah menjadi khalifah selama 21 tahun (661-680 M). dan sebelumnya menjadi gubernur di Syam ( Damaskus) selama 21 tahun juga. Praktis ia berkuasa selama 42 tahun dan sudah memiliki banyak pengikutnya. Karenanya, ia berusaha terus melakukan apa saja demi jabatan buat diri dan keluarganya.

Selama masa kepempinannya, Umar ibnal-Khattab sangat disegani dan dihormati, karena ketegasan dan keadilannya. Boleh dibilang, keadilan, kesejahteraan dan pemerataan, benar-benar terjadi pada masa itu, sehingga masyarakat benar-benar makmur dibuatnya.

Perluasan wilayah dan penyebaran Islam terus dilakukan hingga mencapai Mesir dan Afrika Utara, ke Barat dan Khurasan di wilayah Timur. Akibatnya, banyak para penguasa yang wilayahnya diambil alih oleh para gubernur Islam, bersekongkol dengan kelompok lain. Dengan menggunakan spionase para budak untuk membunuh khalifah Umar ibn al-Khattab. Rencana tersebut berhasil, hingga akhirnya khalifah Umar terbunuh pada 644 M.

Menurut Ibn Qutaybah al- Dinawary, dalam keadaan terluka, Umar mengumpulkan sahabat besar, ahl al-Badr Ali ibn Abi Thalib. Thalhan ibn Ubaidillah. Zubair ibn Awwam dan Abdullah ibn Umar. Mereka dikenal dalam caratan Sejarah Islam dengan Dewan Pemilihan yang bertugas memilih dan menentukan siapa orang yang paling layak dan memiliki kapasitas serta kapabilitas menjadi seorang pemimpin umat dan Dunia Islam saat itu.

Kemudian Umar memerintahkan kepada mereka untuk memilih dan menentukan siapa di antara mereka yang pas dan paling layak untuk menjadi khalifah penggantinya. Lalu khalifah Umar meminta dengan tegas jangan kau pilih Abdullah anakku menjadi khalifah sesudahku. Cukuplah satu Umar yang menanggung beban berat ini. Jangan kau bebankan puteraku untuk menanggung beratnya beban dunia ini.

Itulah Umar. Ia tidak mendorong dan meminta dukungan orang agar Abdullah ibn Umar dipilih menjadi pemimpin setelahnya. Ia malah melarang anaknya ikut terlibat politik praktis. Karena menurutnya, sangat berat dan berbahaya. Pertanggungjawabannya pada Allah sangat berat sekali.

Berbeda dengan Umar. Mu’awiyah ibn Abi Sufyan malah sebaliknya. Ia berusaha keras untuk mendapatkan jabatan khalifah, selagi ia menjabat gubernur Syams, setelah ia berhasil meneror al-Hasan ibn Ali dan meminta agar al-Hasan ibn Ali mau menyerahkan jabatan khilafah kepadanya. Mu’awiyah bersedia memberikan kompensasi apapun yang diminta al- Hasan, asalkan al-Hasan mau menyerahkan jabatan khilafah kepadanya. Akhirnya jabatan itu memang diberikan oleh al- Hasan ibn Ali kepada Mu’awiyah, dan dalam sejarah Islam dikenal dengan petistiwa Am al-Jama’ah yang terjadi di Maskin pada 41 H/661 M.

Setelah sekian tahun ia menjabat khalifah, ia berusaha mendorong dan menetapkan anaknya, Yazid ibn Mu’awiyah, sebagai putra mahkota yang akan menggantikan kedudukannya kelak. Bahkan, menurut al-Thabary, ia selalu berkeliling ke setiap wilayah Islam meminta dukungan dari para pejabat gubernur dan masyarakat, untuk mendukung keinginannya. Jika tidak, kepala mereka jadi taruhannya. Mu’awiyah melakukan itu agar kekuasaan tidak jatuh ke orang lain. Itulah perubahan yang dilakukan Mu’awiyah dalam perpolitikan Islam klasik. Ia mengubah sistem khilfah rasyidah menjadi sistem monarchi absolute heridities, di mana jabatan diwariskan secara turun menurun, seperti yang terjadi pada kerajaan di Romawi dan Persia.

Fakta di Indonesia kini

Dalam konteks pemilihan pemimpin di Indonesia, yang akan dilakukan hari ini, 27 November 2024, mau menggunakan cara yang mana, mau cara Umar ibn al-Khattab atau mau menggunakan cara Mu’awiyah ibn Abi Sufyan? Data dan fakta sejarah menunjukkan bahwa untuk jika ingin melanggengkan kekuasaan, sudah pasti dilakukan dengan cara licik dan tipu muslihat. Dengan cara apapun dilakukan agar jabatan dan kekuasaan bisa tetap di tangan dan tidak jatuh ke tangan orang lain. Mungkin politik Dinasty seperti inilah yang terjadi di Indonesia kini. Seorang presiden atau mantan presiden mendukung dan mencalonkan anak, menantunya untuk menjabat pada jabatan tertentu menjadi pemimpin di daerah.

Selamat memilih calon pemimpin daerah. Pilihlah calon yang punya rekam jejak yang baik dan berprestasi serta berpihak pada masyarakat serta bekerja untuk kepentingan madyarakat, bukan kepentingan pribadi atau golongan.

Wallahu a’lam bi Murodihi
Pamulang, 27 November 2024





Source link