MJ. Bengkulu – UUPA 1960 adalah payung hukum dan menjadi sumber lahirnya peraturan perundang undangan lainnya yang berhubungan dengan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, atau disebut juga agraria.

Menurut Dr. Syaiful Bahari SH, MH dalam pembahasannya menekankan, pemaknaan sebagai peraturan dasar agraria dimaksudkan untuk melakukan perombakan dan pembaruan hukum agraria nasional sebagai pengganti dari hukum agraria kolonial Belanda. Dengan demikian kata Syaiful, asas dan norma dari hukum agraria Indonesia yang baru merujuk pada UUPA 1960, karena UUPA 1960 merupakan pijakan dari cita-cita hukum dasar Negara Republik Indonesia yaitu UUD 1945.

“Benang merah antara UUPA 1960 dengan dasar falsafah negara (philosophische grondslag) dapat dilihat di paragraf Keempat Pembukaan UUD 1945, yaitu pembentukan negara Indonesia ditujukan untuk memajukan kesejahteraan umum dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” ujarnya dalam Seminar Nasional Program Studi Kenotariatan Program Magister Degan Tema “ Politik Hukum Agraria” Fakultas Hukum Universitas Bengkulu Kamis (5/12/2024) bertempat di Ruang Internasional.

Masih kata Syaiful Kembali, Keterkaitan UUPA 1960 dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 disebutkan juga di Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Dalam bagian “berpendapat”, yang merupakan dasar pikiran dibentuknya UUPA 1960 dijelaskan bahwa, hukum agraria nasional merupakan pelaksanaan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, urainya.

Selain itu kata Syaiful, Manifesto Politik Republik Indonesia yang disampaikan dalam Pidato Presiden Soekarno tanggal 17 Agustus 1960 menyatakan, bahwa negara memiliki kewajiban untuk mengatur pemilikan tanah dan memimpin penggunaannya, hingga semua tanah di seluruh wilayah kedaulatan bangsa dan Negara Republik Indonesia dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik secara perseorangan, maupun secara gotong royong, tandasnya.

Namun demikian Syaiful melihat, lebih dari lima dekade sejak diterbitkannya UUPA 1960, ketimpangan penguasaan agraria dan sumberdaya alam masih terjadi. Akibat ketimpangan tersebut, konflik agraria selalu menjadi isu dominan, baik di tingkat lokal dan nasional.

Menurut pandangan Syaiful, sebagian besar sumber konflik agraria disebabkan oleh kebijakan peruntukan tanah oleh negara yang sejauh ini dinilai tidak adil. Padahal menurutnya, tanah dan sumber daya alam sepenuhnya berada di tangan penguasaan negara, sehingga untuk mewujudkan keadilan sosial dan kemakmuran rakyat sebagaimana termaktub di dalam Pembukaan UUD 1945 tentunya tidak terlalu sulit.

“Dalam konteks tersebut, negara sesungguhnya memiliki peran penting dalam mengurangi ketimpangan agraria dan menciptakan keadilan sosial,” tandasnya.

Dari pandangan Syaiful melihat, bahwa Mandat konstitusi (UUD 1945) kepada negara adalah mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan umum bagi seluruh rakyat Indonesia. Salah satu caranya adalah memberikan “Hak Menguasai” untuk mengatur alokasi dan peruntukan tanah dan sumber daya alam dalam rangka kepentingan perekonomian nasional, sebagaimana tercantum dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

Konsep pemberian hak penguasaan atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya kepada negara ini kemudian melahirkan Hak Menguasai Negara (HMN). Dalam perspektif legal yuridis, HMN menjadi sumber utama norma pembentukan UUPA 1960 dan peraturan perundang-undangan lainnya di sektor pertanahan dan sumber daya alam, seperti di sektor perkebunan, kehutanan dan pertambangan, katanya.

Dalam sejarah politik hukum agraria di Indonesia lanjut Syaiful, bahwa konsep HMN bukan sesuatu yang baru. Konsep ini kata Dia menjelaskan, sudah ada sejak era kolonial Belanda, meskipun falsafah dan spriritnya berbeda dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Konsep HMN di masa kolonial Belanda dikenal dengan asas Domein, yakni suatu konsep yang dirumuskan pada masa Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles (1811-1816). Konsep domein selanjutnya dimasukkan sebagai asas dalam undang-undang agraria kolonial Belanda (Agrarische Wet, Staatsblad 1870-55).

Dalam bagian undang-undang tersebut, Pasal 1 Agrarisch Besluit, Staatsblad 1870-118, dicantumkan asas domeinverklaring. Asas tersebut memberikan fondasi bagi lahirnya sistem dan norma hukum agraria kolonial Belanda. Tidak saja menjadi sumber pembentukan peraturan perundang-undangan agraria oleh pemerintah kolonial Belanda, tetapi asas tersebut memiliki pengaruh kuat bagi pembentukan peraturan perundang-undangan agraria Indonesia pascakemerdekaan.

Isi dari domeinverklaring menyatakan bahwa seluruh tanah yang berada di wilayah Hindia Belanda, yang oleh pemiliknya tidak dapat dibuktikan hak kepemilikannya, maka tanah tersebut menjadi eigendom negara.

Pernyataan ini mempertegas adanya hubungan penguasaan sepenuhnya negara atas tanah (staat ter bechikking van de landsoverheid). Karena itu kata Syaiful, pengertian dari domein yang demikian menyatakan bahwa negara sebagai pemilik tanah (eigenaar) yang bersifat privaattrechtelijk
Berdasarkan asas tersebut, negara memiliki kewenangan untuk memberikan atau mengalokasikan tanah-tanah kepada subyek hukum yang diakui negara, terutama perusahaan perkebunan Belanda dan Eropa. Kehadiran UUPA 1960 adalah mendekonstruksi relasi negara dengan rakyat dalam konteks kepemilikan dan penguasaan tanah.

Dasar filosofi UUPA 1960 adalah meletakkan konsep HMN dalam kerangka mencapai tujuan asali pembentukan Negara Republik Indonesia. UUPA 1960 menjadi landasan hukum perombakan dan penataan kembali struktur penguasaan agraria di Indonesia pascakolonial. Terdapat empat pandangan yang mendasari terbentuknya UUPA 1960: Pertama, corak perekonomian masyarakat Indonesia masih bersifat agraris, sehingga pengaturan penguasaan dan pemanfaatan tanah dan sumberdaya alam memiliki peranan penting dalam membangun masyarakat yang adil dan makmur. Kedua, hukum agraria yang berlaku sebelum dan setelah kemerdekaan masih bermuatan dan terpengaruh normanorma hukum kolonial Belanda, termasuk azas domeinverklaring. Ketiga, hukum agraria yang diwariskan pemerintah kolonial Belanda masih bersifat dualisme, yaitu berlakunya hukum barat, disamping pengakuan hukum adat (hak ulayat). Keempat, hukum agraria kolonial Belanda tidak menjamin kepastian hukum bagi rakyat Indonesia terutama setelah Negara Republik Indonesia berdiri, sehingga memerlukan pembentukan hukum agraria nasional baru, ungkapnya.

Dalam pandangannya Syaiful menegaskan, meskipun Indonesia sejak kemerdekaan sudah berganti tujuh kali rezim politik, mulai dari Sukarno hingga Joko Widodo, politik hukum agraria nasional mengalami pasang surut, namun secara subtansi tidak mengalami perubahan atau transformasi mendasar, meskipun sejak 1960 sudah memiliki UUPA, katanya.

Menurut Dia, hubungan politik hukum agraria antara negara, rakyat Indonesia, dan tanah tetap berjalan tidak simetris, terlebih lagi jika dikaitkan dengan konsep keadilan sosial. Realitas ekonomi Indonesia hari ini dapat dikatakan tidak tersambung dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, sebagai asas perekonomian nasional, termasuk di dalamnya mengenai HMN.

Masih kata Syaiful, bahwa Tanah bagi negara tetap memegang peranan sentral sebagai tulang punggung perekonomian nasional. Kebutuhan tanah untuk investasi, baik investasi asing maupun dalam negeri, pembangunan infrastruktur, kawasan industri, dan perumahan, mendorong negara lebih bersifat sentralistik dan massif dalam penguasaan atas tanah dan regulasi peruntukkannya.
Asas HMN menjadi instrumen hukum bagi pemerintah untuk tetap melegitimasi bahwa tanah-tanah di luar dari tanah yang sudah dibebani hak oleh undang-undang, atau tanah yang belum dilekatkan haknya, adalah tanah yang langsung dikuasai negara, yang selalu disebut “tanah negara,” ucapnya.

Negara memiliki kekuasaan mutlak memberikan tanah kepada siapa yang dikehendaki, menyerupai eigendom negara. Sedangkan, konsepsi negara Indonesia yang dirumuskan oleh para founding fathers di BPUPK dan terumuskan dalam Pembukaan UUD 1945, jelas-jelas menolak faham ekonomi liberal.

Namun sayangnya kata Syaiful, konsepsi negara dan perekonomian nasional yang dibayangkan tersebut justru bergerak ke arah “etatisme negara”, di mana ekonomi sebagian besar dikuasai negara dan aparatusnya, sehingga mematikan sistem demokrasi Kasus Indonesia, sampai tahun 1960-an, masih banyak produk peraturan perundang-undangan yang dibuat di era kolonial Belanda tetap berlaku, termasuk penggunaan asas domeinverklaring.

Ditegaskan Syaiful, HMN atas tanah menjadi alas hukum yang kuat melahirkan politik hukum agraria yang mendukung kemunculan etatisme negara di Indonesia. Namun, dalam perkembangan terakhir di era pemerintahan Joko Widodo, khususnya setelah dikeluarkannya Undang-Undang Cipta Kerja, terlihat adanya pergeseran ke arah liberalisasi pertanahan yang lebih ekspansif.

“Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa politik hukum agraria di Indonesia telah mengalami berbagai perubahan dan interpretasi sejak era kolonial hingga era reformasi. Meskipun UUPA 1960 masih menjadi landasan utama, implementasi dan interpretasinya seringkali dipengaruhi oleh kepentingan politik dan ekonomi yang dominan pada setiap era pemerintahan,” ungkapnya.





Source link