Pancasila Bukan Kemanusiaan Yang Asusila – MAJALAH JAKARTA BERITA HARI INI
MJ. Jakarta – Tentu, Pancasilaisme mengajarkan bahwa kasih sayang harus diwujudkan dengan kelembutan hati kepada seluruh umat manusia, tanpa terkecuali. Esensi dari nilai-nilai Pancasila adalah memberikan perhatian khusus kepada mereka yang paling membutuhkan: yang termiskin, yang paling lemah, yang memiliki keterbatasan, dan yang dianggap tidak penting dalam sebuah komunitas. Kasih itu bukan hanya menjadi konsep, tetapi direalisasikan melalui tindakan nyata.
Atas dasar itulah, realisasi cita-cita Pancasila diwujudkan melalui pemahaman yang mendalam, pelayanan yang tulus, serta tindakan nyata yang penuh belas kasih. Hal ini mencakup keinginan untuk membantu, melindungi, mencerdaskan, menyejahterakan, mendisiplinkan, dan menjadikan setiap warga bangsa sebagai bagian dari masyarakat dunia yang beradab. Dus, di negara yang berlandaskan Pancasila, nilai-nilai agama kemanusiaan menjadi inti dan substansi kehidupan berbangsa. Kampus kemanusiaan menjadi inti dari kurikulumnya, sedangkan pesantren kemanusiaan mencerminkan tradisi luhur yang mengakar kuat dalam masyarakat.
Di negara Pancasila, kemanusiaan adalah bentuk cinta yang menghidupi bangsa. Ia hadir sebagai tabib yang menyembuhkan luka rakyatnya, teman dalam kesedihan, guru dalam membimbing tindakan ekonomi dan politik warganya, serta pendamping dalam kebahagiaan bersama. Kemanusiaan yang dijalankan di sini adalah cinta kasih yang murni, tanpa pamrih, dan bebas dari komodifikasi, tercermin dalam pikiran, ucapan, tulisan, hingga tindakan nyata.
Kemanusiaan kita merefleksikan semangat seperti yang diungkapkan Marie Curie, bahwa setiap individu harus bekerja untuk memperbaiki dirinya sendiri sambil berbagi tanggung jawab atas kemaslahatan umat manusia. Dalam semangat holopis kuntul baris, nilai-nilai kebersamaan kita mendorong semangat “satu untuk semua, semua untuk satu.”
Berbicara tentang kemanusiaan di negeri ini adalah berbicara tentang sejarah perjuangan, persahabatan, dan tekad tulus untuk melawan segala bentuk kejahatan: arus fundamentalisme agama yang destruktif, komunisme liberal yang mengabaikan kemanusiaan, serta pola pikir yang menindas dan memiskinkan “sang liyan.” Kemanusiaan di Pancasila bukanlah soal membangun “surga di bumi” dengan mengorbankan pihak lain, tetapi menciptakan keseimbangan yang adil untuk semua.
Oleh karena itu, nalar kemanusiaan kita ibarat magnet yang memengaruhi hasil akhirnya. Jika kita berpikir sehat, maka kesehatan itu akan datang. Sebaliknya, jika kita berpikir negatif, masalah akan mendekat. Semangat berpikir positif (positive thinking) menjadi energi kolektif yang mendorong bangsa ini untuk terus maju dalam keharmonisan dan kemanusiaan.
Berpikir positif adalah cara pandang yang fokus pada hal-hal baik, konstruktif, dan optimis dalam menghadapi berbagai persoalan. Mereka yang menerapkan cara ini tidak hanya mampu melihat peluang di tengah kesulitan tetapi juga memiliki keyakinan bahwa setiap tantangan bisa diatasi dengan sikap ulet, kreativitas, dan kerja keras maksimal. Positif thinking bukan sekadar cara berpikir, tetapi landasan moral untuk terus melangkah maju dengan percaya bahwa harapan selalu ada.
Namun, tanpa realisasi kemanusiaan, negara Pancasila hanya akan menjadi ekopol simulakra—sebuah bayang-bayang tanpa substansi. Simulakra berasal dari kata Latin simulācrum, yang berarti sesuatu yang tampak nyata tetapi tidak memiliki dasar realitas. Dalam konteks ini, semua hanya menjadi bayang semu: ucapan tanpa niat, janji tanpa tindakan, dan kebijakan tanpa keberpihakan pada rakyat. Kehidupan semacam ini adalah pengkhianatan terhadap nilai-nilai Pancasila dan kemanusiaan, sebuah absurditas yang mempertegas hilangnya keadilan sosial.
Tanpa kemanusiaan yang nyata, gambaran kehidupan kita tidak lebih dari karangan bebas seperti yang pernah ditulis seorang anak di diarinya:
“Jika aku jadi presiden Republik Indonesia, kerja pertamaku adalah memastikan mesin kesejahteraan dan keadilan bekerja, bukan mengemis ke negara lain atau sekadar berkeliling dunia. Aku akan melenyapkan KKN dan judi, mengganti, memecat, dan memenjarakan pejabat yang korup, bukan malah mengangkat mereka sebagai komisaris BUMN atau penasihat negara. Tapi kata ayahku, aku tak bisa jadi presiden karena pemilihku hanya ayahku.”
Karangan ini mencerminkan kesedihan sekaligus harapan. Sebuah cerminan bahwa tanpa keadilan, negara ini hanya akan menjadi negara gagal: ekopolnya dikuasai segelintir elit yang memelihara ketimpangan dan kemiskinan akut. Negara semacam ini bukanlah negara Pancasila, melainkan negara korporasi, negara jahat, yang menjadikan rakyatnya korban ketidakadilan.
Karena itu, kita harus melawan segala bentuk ketidakadilan dan terus memupuk harapan pada kemanusiaan yang hidup. Membantu sesama, melindungi yang lemah, dan menumbuhkan solidaritas tanpa batas adalah kunci untuk menghapus kepariaan dan menenggelamkan praktik buruk dari elite asusila dan pejabat amoral.
Mari menjadikan kemanusiaan yang adil sebagai bagian dari identitas kita. Mari menjadikan kemanusiaan yang beradab sebagai agama yang mempersatukan manusia Indonesia. Inilah cita-cita negara Pancasila yang sesungguhnya—negara yang memuliakan setiap insan dengan keadilan dan cinta kasih tanpa batas.
Tinggalkan Balasan