MJ. Jakarta – Setiap pemerintahan baru selalu dihadapkan pada dua pertanyaan mendasar: Apa warisan yang diterima? dan Apa yang harus dilakukan dengan warisan tersebut? Kedua pertanyaan ini menjadi pijakan awal dalam merumuskan arah kebijakan strategis guna membawa bangsa menuju kemajuan yang lebih baik.

Namun, mari kita tengok realitas. Per Maret 2024, hanya 10,99% penduduk Indonesia yang bergelar sarjana. Angka ini jauh tertinggal dibandingkan negara-negara tetangga seperti Malaysia (22%) dan Singapura (28%). Ketertinggalan ini menunjukkan bahwa salah satu tantangan besar kita berada di sektor pendidikan. Transformasi bangsa tidak akan pernah nyata tanpa peningkatan kualitas dan akses pendidikan.

Tantangan ini semakin berat dengan fakta-fakta lainnya:

– Ketimpangan ekonomi
: 10% orang terkaya menguasai kekayaan yang setara dengan 90% penduduk lainnya.

– Korupsi sistemik
: Lebih dari 30% APBN diduga “hilang” akibat praktik korupsi.

– Minimnya prioritas pendidikan
: Anggaran pendidikan hanya sekitar 10% dari total APBN.

– Kemiskinan dan pengangguran
: Angka kemiskinan mencapai 47% dan pengangguran berada di angka 22%.

– Ketimpangan sosial
: Gini ratio tercatat pada angka 0,38, mengindikasikan kesenjangan yang signifikan.

Dengan kondisi ini, mustahil kita berbicara tentang transformasi besar-besaran tanpa membersihkan akar-akar masalah. Hanya pihak-pihak yang tega mengkhianati bangsanya sendiri yang akan terus membiarkan keadaan ini. Mereka adalah “musuh negara” yang sejati, menjadi arsitek kehancuran bangsa dengan menjadikan Indonesia sebagai ladang eksploitasi tanpa batas.

Lebih berbahaya lagi, mereka inilah yang merusak moral bangsa melalui pendidikan yang tidak berorientasi pada integritas. Dari sistem ini lahirlah “pelacur intelektual” yang menjual akal dan nurani demi kepentingan pribadi atau asing yang lahir dari kampus terbaik republik ini.

Kinerja agen asing dalam menguasai seluruh Indonesia telah menunjukkan keberhasilannya melalui skema yang sistematis dan terstruktur. Konsentrasi kekayaan yang terkumpul pada segelintir kelompok tidak hanya menghasilkan penguasaan ekonomi, tetapi juga memperkuat dominasi politik mereka. Intensifikasi kekuasaan politik ini, pada akhirnya, melahirkan perundangan-perundangan yang khianat—aturan yang mempercepat siklus konsentrasi kekayaan haram dan kekuasaan batil kembali kepada kelompok tersebut.

Siklus malpraktik ini telah berlangsung selama puluhan tahun, menciptakan ruang gerak yang semakin sempit bagi pribumi. Para agen asing berperang dengan senjata uang haram, sementara pribumi diperdaya untuk bertikai di antara mereka sendiri demi memperebutkan uang “judol.” Fenomena ini adalah ujian kemalangan yang tak kunjung usai, sebuah lingkaran Vyasana Indonesia.

Akar permasalahan ini berawal dari sistem yang rusak:

1. Perundangan dan peraturan yang buruk, yang bersumber dari konstitusi yang cacat.

2. Konstitusi cacat, yang lahir dari agensi yang buruk.

3. Agensi buruk, yang terbentuk dari sarjana yang tak bermoral.

4. Sarjana yang buruk, yang dididik di kampus dengan kualitas rendah.

5. Kampus buruk, yang kurikulumnya tidak berorientasi pada kepentingan bangsa.

Mengapa kurikulum ini buruk? Karena ia hanya berorientasi pada pendidikan di Indonesia, bukan Pendidikan Indonesia. Pendidikan sejati bangsa Indonesia seharusnya berlandaskan pada tiga pilar utama: Pancasila, Konstitusi Asli, dan Kepentingan Nasional. Namun, pilar-pilar ini telah tergerus oleh narasi asing yang melunturkan jiwa kebangsaan kita.

Ya, kini kita hidup di zaman yang penuh paradoks. Bangsawan yang seharusnya menjadi pelindung rakyat justru kehilangan jejak bangsanya. Negarawan yang diharapkan menjadi pemimpin visioner malah abai terhadap negaranya. Ilmuwan, penjaga nurani intelektual, sering kali terjerembap dalam lumpur amoralitas. Agamawan yang seharusnya menjadi teladan kebajikan malah mempertontonkan kerakusan. Ekonom, alih-alih membangun kemandirian bangsa, mengemis keluar negeri sembari tanpa ampun memeras bangsanya sendiri.

Siklus ini adalah perbudakan bangsa oleh bangsanya sendiri. Ia menjelma menjadi lingkaran gelap yang melumpuhkan semangat kebangsaan, menghancurkan moral kolektif, dan melanggengkan ketimpangan. Tetapi, siklus ini bukan tak mungkin dipatahkan. Jawabannya ada pada revolusi Pancasila.

Revolusi ini menuntut kita, para patriot Pancasila, menjadi subjek perubahan. Sebab, kitalah yang berdiri di garis depan untuk mempertahankan nilai-nilai luhur bangsa. Revolusi ini adalah panggilan jiwa untuk membebaskan Indonesia dari belenggu keserakahan, kebodohan, dan ketidakadilan yang menggerogoti negeri ini.

Sebagai patriot, kita harus yakin pada hukum alam yang menyimpan keadilan tersendiri. Dalam keteraturan selalu ada keacakan. Dalam hegemoni akan muncul kontra-hegemoni. Dalam harmoni, ada chaos yang menanti. Ini adalah prinsip teori fraktal—bahwa di balik kerumitan ada pola sederhana yang terus berulang, membentuk harmoni baru.

Hidup kita adalah cerminan teori ini. Kita berdiri untuk duduk dan duduk untuk berdiri. Kita hidup untuk mati, tetapi juga mati untuk hidup. Semua ini adalah siklus, dan di tengah siklus itu, ada kita, patriot yang tetap berdiri teguh meski dilanda badai.

Namun, kenyataan di depan kita semakin menantang. Firman-firman profan terus membanjiri ruang publik, dipenuhi puja-puji palsu dan caci maki tak berujung. Para penjahat semakin sombong, lupa bahwa hidup adalah persiapan untuk mati. Mereka buta akan realitas—bahwa rumput semakin kering, nahkoda semakin miring, dan rakyat semakin sinting.





Source link