Saat Engkau Beriman Pada Uang – MAJALAH JAKARTA BERITA HARI INI
MJ. Jakarta – Berhenti. Itulah kata terakhir yang kudengar sebelum ledakan bom mengguncang ruangan. Dwuorrrr! Suara itu menggema, memecah keheningan, dan menyisakan kepanikan. Saat itu, kami sedang duduk di sebuah sudut kafe di Gedung Setiabudi One, Jakarta. Secangkir kopi hangat di depan kami menjadi saksi percakapan yang begitu dalam. Aku tengah mengisahkan teori tentang “Zaman Edan”, sebuah konsep zaman penuh kegilaan yang diramalkan oleh dua jenius Nusantara: Prabu Jayabaya dari abad ke-12 dan Rangga Warsita dari abad ke-19, Dua sosok ini adalah peletak dasar filsafat Jawa, yang jauh melampaui zamannya.
Prabu Jayabaya, raja bijaksana dari abad ke-12, menyebut masa penuh kekacauan sebagai Kalabendu, sebuah era yang ditandai dengan penderitaan dan runtuhnya nilai-nilai moral. Berabad-abad kemudian, di tahun 1860-an, Rangga Warsita, pujangga besar dari Kasunanan Surakarta, memperkenalkan istilah Kalatidha, yang dikenal juga sebagai “zaman edan.” Dalam kedua ramalan tersebut, tergambar keprihatinan mendalam terhadap kondisi zaman yang penuh kebingungan dan kerusakan.
Di era modern, apa yang dahulu disebut nujum atau nubuwah kini berkembang menjadi futurologi. Futurologi adalah ilmu yang mencoba membaca arah zaman dengan pendekatan sistematis. Ia tidak lagi bergantung pada intuisi atau kemampuan mistis semata, tetapi menggunakan data, analisis tren, dan skenario untuk memprediksi masa depan. Para pelakunya, yang disebut futurolog atau futuris, adalah ilmuwan sosial yang memiliki spesialisasi untuk mengeksplorasi prediksi dan kemungkinan, baik dalam konteks masyarakat manusia maupun keberlangsungan hidup di Bumi.
Tema zaman edan inilah yang membuat kita nyanyi lagu Kedanan sebelum diskusi. Lagu yang dinyanyikan oleh Intan Chacha. Begini liriknya: “Sopo sing ora kedanan mripate/Blalak blalak ngawe awe/Kegugah roso atiku/Yen hanyawang, esem lan guyumu/Sayange anakku loro, wes rondho/ Kono joko kembang deso/Opo biso keturutan/Momong putro urip bebarengan/ Aku kedanan/Rino wengi mung tansah kelingan/Kedanan bujang/Ibarate kodok nggayuh Lintang/Tak rewangi pati geni pamrihe/Karep ben luluh atine/Aku ora bakal rabi/Mung sliramu priyo tak enteni.”
Lalu, kita masih bernyanyi lagu Kedanan karya Bram Moersas dan Chossy Pratama. Begini liriknya: “Masih tertinggal kasih sayangmu di hidupku ini/Lalu terbayang saat bersamamu sampai kini/Aku terjatuh dalam asmara/Dan kuterlena/Aku tak kuasa lalu berkata apa adanya/Aku kedanan pada dirimu/Terlalu cinta.”
Sebelum kata “berhenti” yang terlontar dari mulutmu, aku sedang membacakan puisi ngawur yang ada di layar laptop. “Banyak rumah makin besar, tapi keluarganya makin kecil/Gelar makin tinggi, akal sehat makin rendah/ Pengobatan makin canggih, kesehatan makin buruk/Travelling keliling dunia, tapi tidak kenal dengan tetangga/ Penghasilan makin meningkat, ketenteraman jiwa makin berkurang/ Kualitas Ilmu makin tinggi, kualitas emosi makin rendah/Jumlah manusia makin banyak, rasa kemanusiaan makin menipis/ Iptek makin bagus, kearifan makin berkurang.”
Zaman akhir dari sakralitas dan moralitas ini juga ditandai oleh: “Perselingkuhan makin marak, kesetiaan makin punah/Teman makin banyak di dunia maya, tapi makin sedikit sahabat sejati/Minuman makin banyak jenisnya, air bersih makin berkurang jumlahnya/ Pakai jam tangan mahal, tapi tak pernah tepat waktu/Ilmu makin tersebar, adab dan akhlak makin lenyap/Belajar makin mudah, guru makin tidak dihargai/ Teknologi informasi makin canggih, fitnah dan aib makin tersebar/Orang yang bodoh banyak bicara, orang yang bijak banyak terdiam.”
Kok bisa? Ternyata semua bermula dari era individualisme, liberalisme, kapitalisme, materialisme, merkantilisme, perbangkanisme, finansialisme dan uangisme. Hebatnya punya ciri yang sama: profanitas, volatilas, krisis dan anonimitas. Alat utama perdagangan mereka dan akumulasinya disebut uang. Ia digunakan secara anonim, yang berarti transaksi tidak selalu terkait dengan identitas individu. Ini bisa memberikan privasi dalam beberapa situasi.
Lahirlah ontologi ordo uang yang berbunyi, “uang bukanlah segalanya. Tapi segalanya butuh uang.” Maka, pelan dan pasti ia yang dulunya hanya berupa barang dan alat hamba yang baik, kini jadi tuan yang dominan, mengatur plus jahat. Dengannya kita bisa membeli perhatian (bukan ketulusan) dan bisa membeli kecantikan (bukan kesetiaan). Dan, dengan uang kita bisa membeli hati, empati, simpati bahkan ideologi.
Epistemanya makin luas. Ia bergerak lincah di wilayah narasi. Profanitas. Duniawi. Harta. Benda. Sekarang. Maka muncul kaidah, “yang kehilangan uang, kehilangan segalanya; yang kehilangan teman, hanya kehilangan banyak hal; yang kehilangan iman, tidak kehilangan apa-apa; yang kehilangan moral, itu bukan kehilangan.”
Pada kisah hidup sukses di zaman edan, kita tidak akan dinilai oleh berapa banyak piagam yang telah kita terima, berapa banyak prestasi yang telah kita buat, berapa banyak hal-hal besar dan jihad akbar yang telah kita lakukan. Tetapi, semua dinilai dan dirangking dari berapa uang yang kita punya.
Uang lah yang merubah zaman waras berlandaskan benar-salah, menjadi zaman edan berlandaskan menang-kalah. Saat engkau beriman pada uang, di hati dan jiwamu: aku hanyalah butiran debu.
Tinggalkan Balasan